SIDOARJO (mediasurabayarek.net) – Kini sidang lanjutan Tarwi, yang tersandung dugaan perkara korupsi Kredit Modal Kerja PT Bank Jatim, memasuki babak penuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak, yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya.
Setelah Hakim Ketua I Dewa Gede Suardhita SH membuka sidang
dan terbuka untuk umum, langsung mempersilahkan Jaksa Ananto Tri Sudibyo dari
Kejari Tanjung Perak untuk membacakan surat tuntutannya di ruang Cakra
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya.
“Kami menilai terdakwa melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal
3 jo pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 KUHP,” ucap Jaksa Ananto
Tri Sudibyo dari Kejari Tanjung Perak.
Dalam surat tuntutannya , Tarwi dituntut 13, 6 tahun
penjara. Tarwi dinyatakan terbukti melakukan korupsi atas Kredit Modal Kerja PT
Wahyu Tirta Manik, Perusahaan yang mendapatan Kredit Modal Kerja dari PT Bank
Jatim pada tahun 2018 lalu.
JPU memaparkan modusnya, Tarwi diduga memalsukan kontrak
kerja yang mereka ajukan sebagai jaminan ke Bank Jatim. Seolah-olah PT Wahyu
Tirta Manik mempunyai kerja sama dengan pemberi kerja dan perjanjian kerja
tersebut menjadi dasar pengajuan kredit.
Atas perbuatannya itu, negara dalam hal ini PT Bank Jatim
mengalami kerugian mencapai Rp 34 milair. Selain itu, membebankan Uang
Pengganti (UP) sebesar Rp 34 miliar.
Nah, setelah Jaksa membacakan surat tuntutannya dan dirasakan
sudah cukup, Hakim Ketua I Dewa Gede Suardhita SH menyatakan, memberikan
kesempatan kepada Penasehat Hukum (PH) maupun terdakwa sendiri untuk
menyampaikan nota pembelaan (pledoinya) pada sidang berikutnya, yang akan
dilangsungkan pada Selasa, 29 April 2025 mendatang.
“Baiklah, pembacaan pledoi kami berikan kesempatan PH untuk
menyusunnya selama 2 (dua) minggu. Tolong tidak ada penundaan lagi ya,” ujarnya
seraya mengetukkan palunya sebagai pertanda sidang selesai dan ditutup.
Sehabis sidang, PH Heri Siswanto SH mengatakan, sebenarnya
total kerugian pokok sebesar Rp 22 miliar. Dan bunga sebesar Rp 12 miliar,
sehingga totalnya mencapai Rp 34 miliar.
Sedangkan tuntutan terhadap Tarwi 13, 6 tahun penjara dan
Uang Pengganti (UP) sebesar Rp 34 miliar. Sejak putusan ikrah nantinya, akan
dilakukan nantinya. Kalau dari harta yang dilelang tidak mencukupi untuk
menutupi kerugian negara itu, maka dikenai sanksi tambahan 7 (tujuh) tahun.
Mulai tahun 2008 ada Kredit Modal Kerja RP 6 miliar, kemudian
ada tambahan Rp 15 miliar dan sebagainya. Ada Sebagian yang sudah lunas. Tetapi,
akhir-akhir ini sejak tahun 2010 atau 2011, tata Kelola dari proyek itu tidak
berjalan dengan baik.
Sedangkan total yang belum dikembalikan senilai Rp 22
miliar. Dikenakan bunga RP 12 miliar, sehingga totalnya mencapai RP 34 miliar.
“Oleh karena itu, kami otomatis akan melakukan upaya pembelaan
(pledoi) nantinya. Atas tuntutan jaksa itu, kami sangat keberatan. Ini jadi
persoalan juga, bunga masuk dalam konstruksi kerugian negara. Sedangkan kalau
melihat aspek hukum , yakni putusan MK itu kan ada dua pengertian, potensial
loss dan actual loss. Kalau yang dimaksudkan dengan actual loos, itu berapa
kerugian riilnya. Kerugian senyatanya itu berapa,” katanya.
Kalau dilihat dari proses perjanjian kreditnya, itu
kerugiannya Rp 22 miliar. Sedangkan yang Rp 12 miliar itu , bunga. Karena
pengertian bunga itu masih bisa dinegosiasikan, sepanjang debitur ada etikad
baik untuk memenuhinya. Dalam perbankan bisa seperti itu adanya.
“Jadi, tidak bersifat rigid (kaku-red), kalau yang namanya bunga
itu mau atau tidak mau, haruslah dibayar. Asalkan ada debitur ada etikad baik
untuk menyelesaikan, maka bunga itu bisa dikurangi. Ya itulah yang disebut
actual loss. Kalau potensial loss itu masih bersifat relatif, belum bisa
menjangkaunya,” ungkapnya. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar