SURABAYA (mediasurabayarek.com) - Sidang lanjutan Guntual , yang tersandung dugaan perkara ITE (Informasi Teknologi Elektronik), dengan agenda pemeriksan terdakwa, yang digelar di ruang Sari 3 Pengadilan Negeir (PN) Surabaya, Senin (7/7/2025).
Jaksa Penuntut Umum
(JPU) Wido SH dan Wahyu SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo, bertanya
pada Guntual, apakah tidak ada kata-kata yang lebih halus dan pantas, selain ‘Bobroknya
Pengadilan Negara Indonesia’ , yang diunggah dalam video di facebook yang viral
itu ?
“Saya tidak ada niatan
menghina orang (hakim atau pengadilan-red). Pengadilan adalah tempat orang mencari keadilan.
Ungkapan itu spontan. Saya lagi kecewa dan kalut. Rumah mau dieksekusi,” jawab
Guntual.
Kini giliran Penasehat
Hukum (PH) Reno Christiana SH dan Jannus Sirait SH bertanya pada Guntual, apakah
saudara menjadi korban kekecewaan dari perbankan ?
“Ya, meskipun saya sudah
kecewa. Sebagai penggiat hukum tetap kontrol diri. Tidak sebut nama hakim dan
nama pengadilan,” jawabnya singkat saja.
Sebelum sidang ditutup,
Guntual sempat menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada Kejati,
Kejari Sidoarjo, dan PN Sidoarjo.
“Saya tidak ada niat
apa-apa. Sekali lagi mohon maaf pak Jaksa dan hakim,” katanya lagi.
Dan setelah itu, Hakim Ketua
Muhammad Zulqarnain SH MH menyatakan, saksi verbalisan tidak perlu dihadirkan lagi
dan agenda sidang berikutnya adalah penuntutan dari Penuntut Umum pada Senin,
21 Juli 2025 mendatang.
Mulanya , majelis hakim
meminta Penuntut Umum untuk membacakan tuntutannya pada Senin, 14 Juli 2025.
Namun, jaksa memohon majelis hakim memberikan waktu selama 2 (dua) minggu lagi.
Yakni, Senin 21 Juli 2025 mendatang.
Sehabis sidang, Guntual , PH Reno Christiana SH ,dan Jannus Sirait SH mengatakan, intinya adanya kekecewaan dan spontanitas, apa yang disampaikan di dalam itu , bukan hal baru di PN Sidoarjo. Ini adalah rangkaian hutang-piutang di BPR Jati Lestari Sidoarjo.
Dalam persidangan, Guntual sempat memaparkan kronologi timbulnya perkara UU ITE. Pertama diawali adanya transaksi pinjaman ke BPR Jati Lestari pada April 2004. Pinjaman mulanya cuma Rp 250 juta dengan jaminan rumah seharga Rp 2,5 miliar. Pembayaran dilakukan dengan cover Bilyet Giro.
Oleh karena pembayaran lancar,
Mei 2005 ditawari pinjaman baru dengan nominal Rp 150 juta. Dengan alasan
jaminan lumayan besar , karena pembayaran
pinjaman pertama dan kedua lancar.
Empat bulan kemudian,
September 2005, kembali ditawari lagi dengan nominal Rp 275 juta.
Dengan catatan harus menambah agunan, sehingga jumlah pinjaman
periode pertama totalnya Rp 675 juta.
Setelah semua
pinjaman dan pembayaran lancar, maka Januari
2006 ditawari top-up pinjaman April
2004 sebesar Rp 250 juta. Lalu diminta
ditutup dan dibuka dengan pembaharuan pinjaman
Rp 225 juta.
Demikian seterusnya
dilakukan top-up pinjaman Mei 2005 Rp
150 juta ditutup, lalu diperbaharui pada
Agustus 2006 Rp 500 juta. Dengan menutup
pinjaman September 2005, Rp 275
juta. Dan selanjutnya dilakukan top-up
pada September 2006 sebesar Rp 300 juta,
dan Rp 123 juta menggunakan dana pribadi
direksi.
“Masalah kecurangan menjadi
kelihatan dan tidak transparan, ketika saya mulai curiga dan menanyakan sia hutang saya ada
berapa. Saya bayar relatif lancar,
tetapi kenapa rincian tidak diberikan.
Akhirnya, saya beranikan diri untuk
bertanya sisa outstanding pinjaman
tersebut. Betapa kagetnya saat saya disodorkan selembar kertas sebesar bungkur
rokok, nominal hutang saya masih sebesar Rp 2,496 miliar,” ucap Guntual.
Karena tidak percaya minta rincian tertulis uang pembayaran melalui cover Giro maupun transfer dan bayar tunai. Lalu direksi memberitahu Guntual, untuk mengajukan surat secara resmi.
Guntual
melayangkan surat dengan kop Biro
Perlindungan Hukum, bukannya dijawab atas surat tersebut. Melainkan,
mendapatkan somasi dari kantor pengacara agar segera menyelesaikan dengan nilai Rp
2,496 miliar. Bila tidak akan dilakukan lelang ke KPKNL Surabaya. Oleh karena lelang tersebut, dibatalkan
dengan melaporkan pidana perbankan ke Polda
Jatim.
“Nah, setelah batal melakukan
lelang ke KPKNL. Pihak BPR akhirnya melayangkan gugatan perdata wanprestasi ke PN
Surabaya sebesar Rp 1,175 miliar. Sedangkan yang ditagihkan pada saya Rp 2,496
miliar. Sedangkan yang dikabulkan PN Surabaya
hingga Mahkamah Agung (MA) hanya Rp
110 juta,” ucapnya.
Masalah pertama mulai
dari perilaku Aparat Penegak Hukum (APH)
itu sendiri di kejaksaan yang
tidak amanah, menyimpang dari sumpah jaksa, menyelewengkan keadilan.
Setelah laporan di Polda
Jatim, sudah menetapkan tersangka kepada
kedua direksi tersebut, Akan tetapi atas
perintah pimpinan, perkara ini
dipertangguhkan melalui surat Aspidum Kejaksaaan Tinggi Jatim No. B5686/0.5.10/Euh.1/11/2017.
“Kami kawal terus hingga viral, karena saya protes. Meskipun sudah dipertangguhkan, karena
sudah telanjur ramai di media massa.
Maka atas perintah pimpinan Kejagung 3 hari
kemudian perkara dimaksud, akhirnya bisa dilimpahkan untuk disidangkan di PN Sidoarjo dengan No. Perkara : 1187/Pid.B/2017/PN.SDA,
terdakwa H Djoni Harsono SIP dan untuk
terdakwa The Riman Sumargo, dengan putusan terbukti, tapi bukan pidana,” cetusnya.
Menurut Guntual, masalah
kedua, yang menjadi pemicu protes hingga berteriak-teriak. Perkara tersebut sedianya dihentikan oleh
Kejagung, setelah viral baru dilimpahkan
ke PN Sidoarjo.
“Sejak awal persidangan
sudah dipenuhi kejanggalan yang
dipertonton majelis hakim. Salah
satunya terdakwa bebas memvideokan saya dan istri saat didengarkan keterangan
sebagai saksi korban (pelapor) tanpa
dihentikan hakim. Sejak awal persidangan dimulai ketiga majelis hakim mengijinkan
salah satu terdakwa untuk umroh. Ini seperti tamparan bagi kami selaku korban,”
ucapnya.
Setelah protes secara
spontan dengan berteriak-teriak, tanpa menyebutkan nama hakim maupun nama
pengadila, saat sesudah majelis hakim mengetuk palu. Pemberitaan media massa menjadi ramai dan viral.
Untuk pertama
kalinya, dalam sejarah Pengadilan Negeri
Sidoarjo meminta perlindungan hukum kepada Organisasi Advokat guna melaporkan
pasutri ke Polrestabes Surabaya.
“Akhirnya Bawas Mahkamah
Agung RI turun ke PN Sidoarjo, mengundang
kami untuk klarifikasi. Komisi Yudisial
RI melakukan sidang pleno atas adanya pengaduan kami, yang hasilnya
menjatuhkan putusan pelanggaran terhadap ketiga anggota majelis hakim. Ketua
majelisnya dijatuhi hukuman non-palu,” kata
Guntual
Sehingga protes yang
disuarakan Guntual terbukti, bukan muatan menyerang kehormatan, atau fitnah. Karena itulah, dakwaan jaksa haruslah dikesampingkan karena faktanya hakim memang melanggar
kewibawaan hakim itu sendiri.
“Kalau penegakan
hukum tidak memberikan rasa keadilan seperti
ini, apakah saya hanya diam saja. Harta
keluarga saya dirampas demi hukum,
apakah salah saya bersuara, dan protes. Lalu ke mana lagi saya minta keadilan. Apakah teriakan kekecewaan yang
kami suarakan sesuai fakta dan menyebar ke media sosial kami sendiri itu
salah, Kalau kami disalahkan , apakah
yang digaji oleh negara,pakai uang rakyat untuk menegakkan kebenaran , ternyata
curang harus dibenarkan. Kalau begitu
apa arti negara hukum yang
berkeadilan,” ungkap Guntual.
Dijelaskan Guntual, bahwa dia tidak ada maksud menghina pengadilan. Kalau menghina pengadilan, pasti disebutkan nama pengadilannya. Juga tidak pernah menghina hakim, karena menyebut nama hakim.
“Spontan saja. Namanya
orang kecewa, di kampung saya, pakai benda, kayu atau apa. Sudah pasti pakai
dengan cara kekerasan,” tukasnya.
Ditambahkan PH Janus
Sirait SH, bahwa perkara ini dari awal sampai akhir tidak perlu sampai ke Pengadilan.
Kalaupun dari
kepolisian dilimpahkan ke Kejaksaan sebagai pertanggungjawaban jabatan,
seharusnya pada saat di Kejaksaan, memanggil kedua belah pihak dan dilakukan
mediasi (Restorasi Justice/win-win solution). Karena tidak ada pencabutan
perkara dari Kejaksaan dan mendamaikan kedua belah pihak, akhirnya sampai jadi
begini. Telah disampaikan data-data , sampai putusan MA. Bahwa dari hutang Rp
2,49 miliar. Digugat Rp 1 ,175 miliar di PN Surabaya. Ternyata putusan di tingkat
MA hanya Rp 110 juta. Jadi, yang namanya orang mempertahankan harta bendanya,
kita harus hormati putusan MA tadi,” tandasnya.
Ditambahkan PH Janus Sirait SH, perkara ini sejak awal sampai akhir tidak perlu sampai ke Pengadilan. Kalaupun dari kepolisian dilimpahkan ke Kejaksaan sebagai pertanggungjawaban jabatan, seharusnya pada saat di Kejaksaan, memanggil kedua belah pihak dan dilakukan mediasi (Restorasi Justice/win-win solution).
"Karena tidak ada pencabutan perkara dari Kejaksaan dan mendamaikan kedua belah pihak, akhirnya sampai jadi begini. Telah disampaikan data-data , sampai putusan MA. Bahwa dari hutang Rp 2,49 miliar. Digugat Rp 1,175 miliar di PN Surabaya. Ternyata putusan di tingkat MA hanya Rp 110 juta. Jadi, yang namanya orang mempertahankan harta bendanya, kita harus hormati putusan MA tadi,” tandasnya. (ded)
Guntual Tidak Ada Maksud Menghina Pengadilan Atau Hakim, Karena Kecewa, Spontan Ungkapkan Kekecewaan Itu
0 komentar:
Posting Komentar