SIDOARJO
(mediasurabayarek.net) - Sidang lanjutan Nafiaturrohmah
SH Mkn (Notaris) dan Winarto (anggota DPRD Ngawi dari Golkar), yang
tersandung dugaan perkara korupsi pengadaan lahan pabrik mainan PT GFT
Indonesia Investment di Desa Geneng, Ngawi, pada tahun 2023, terus bergulir di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya.
Kali ini agendanya pemeriksaan
5 (lima) saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Reza Prasetya Nitisasmito SH dari Kejaksaan Negeri
(Kejari) Ngawi.
Kelima saksi fakta itu adalah Erika Dita Pratiwi (staf notaris), Alkaroki (staf notaris), Joko Waluyo (Sekdes), Heri Sugito, dan Azis Romli, yang diperiksa menjadi 2 (dua) sesi.
Mereka diperiksa di hadapan Hakim Ketua Irlina
SH MH didampingi Hakim Anggota Alex Cahyono SH MH, dan Samhadi SH MH di ruang Cakra
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Selasa (28/10/2025).
Setelah Hakim Ketua Irlina
SH MH membuka sidang dan terbuka untuk umum, langsung memberikan kesempatan
pada Jaksa Reza Prasetya Nitisasmito SH untuk bertanya pada saksi-saksi
tersebut.
Jaksa Reza SH bertanya
pada saksi Erika Dita Pratiwi (staf
notaris), tolong saksi jelaskan terkait jual-beli lahan petani di Desa Geneng ?
“Ada 3 (tiga) pelepasan
hak di Desa Geneng, pembeli lahan adalah PT GFT Indonesia Investment. Ada surat kuasa jual dari Andrew (pembeli)
yang meminta Bu Nafi (Nafiaturrohmah SH), untuk menunjuk staf notaris sebagai
penerima kuasa. (Diketahui) ada 101 bidang tanah,” jawab saksi Erika.
Menurut saksi, isi kuasa
jual dari pihak pemilik lahan mengkuasakan dari penerima kuasa. Mereka yang
datang lebih dari 3 (tiga) petani, nilai trasaksinya Rp 350 ribu per meter.
Harga ini sudah di atas harga pasar.
Namun begitu, saksi tidak
datang ketika pembayaran lahan dan tidak tahu perihal sertifikat asli.
Sementara itu, saksi
Alkaroki menyebutkan, bahwa akta kuasa jual yang membawa adalah dirinya. Dia
bertugas untuk pengumpulan data dan banyak petani yang ngumpul di rumah
Winarto.
Waktu itu Joko Waluyo
(Sekdes) menelepon saksi Alkaroki supaya dibuatkan musydes. Namun yang mengetik
surat musydes adalah Sekdes sendiri.
Saksi Alkaroki mengecek
kesesuaian KTP dan sertifikat. Lalu hasilnya diserahkan ke Erika.
Sedangkan sertifikat
atas nama orang yang sudah meninggal dunia, harus dibuatkan surat ahli waris
lebih dulu.
Kini giliran Penasehat
Hukum (PH) Heru Nugroho SH.MH bertanya pada saksi
Erika, apakah tanda tangani surat kuasa jual ?
“Tanda tangani kuasa
jual untuk pelepasan hak. Saya mendapatkan info harga dari Pak Winarto. Saya
pernah urus Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pengecekan pelepasan hak berdasarkan
harga pasar. Pengecekan BPHTB dari system.
(Sebenarnya) harga Rp 350 ribu per meter itu sudah di atas harga pasar,” jawab
saksi Erika.
Lebih lanjut Erika
menyatakan, pihaknya mencetak kode billing pembayaran pajak, dan disampaikan ke
Bu Nafi dan Andrew. Untuk pembayaran, saksi tidak tahu siapa yang membayar pajak
tersebut.
Ada PPh 2,5 % dan BPHTB
yang harus dibayarkan. Untuk PPh, saksi membuatkan billing yang disampaikan ke
Nafi dan Winarto. Saksi tidak tahu siapa yang bayar pajak itu.
Kembali PH Heru Nugroho SH. MH, bertanya pada saksi Erika
apakah ada petugas pajak yang menagih kurang bayar, atau pernah menerima
tagihan pajak ?
“Tidak ada surat tagihan
kurang bayar dan tidak ada orang pajak yang nagih pajak di kantor. Selama ini
tidak pernah terima tagihan pajak,” jawab Erika dengan nada suara tegas di persidangan.
Sedangkan saksi Joko
Waluyo (Sekdes) menerangkan, bahwa yang aktif untuk menyukseskan pengadaan
lahan, sesuai arahan Bupati adalah Winarto. Hasil pertemuan pertama, para
petani tidak sepakat soal harga lahan.
Pertemuan kedua, Tim
melakukan sosialisasi dan ngumpul lagi. Ada Romli, Joko Waluyo, Winarto dan
lainnya. Akhirnya ‘deal’ harga Rp 1,4 miliar per setengah bahu. Petani yang
setuju menjual lahannya, diberikan tanda jadi sebesar Rp 1 juta.
Hal senada diutarakan
oleh saksi Heri Sugito di depan persidangan. Keterangannya mengenai proses
jual-beli lahan itu sama dengan yang diceritakan oleh Joko Waluyo. Diajak
mensukseskan prosesi pelepasan tanah itu.
“Tim ditugasi
pengumpulan berkas-berkas, seperti fotokopi KTP dan KK. Penandatanganan
rekening dan penyerahan sertifikat, tidak tahu,” ucapnya.
Di tempat yang sama,
saksi Aziz Romli menjelaskan, bahwa dia dikasih Rp 150 juta dari Andrew untuk DP
(Uang Muka) petani yang mau melepaskan tanahnya. Lantas, uang Rp 150 juta itu diserahkan ke Winarto.
Nah, setelah pemeriksaan
para saksi dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua Irlina SH MH mengatakan, sidang
akan kembali digelar pada Selasa, 18 Nopember 2025 mendatang.
Sehabis sidang, PH Heru Nugroho SH.MH menegaskan, dari awal keberatan dengan
keterangan Joko Waluyo (Sekdes), mana mungkin staf notaris membuat musyawarah desa (musy-des). Ngetik di
laptopnya dia dan mengkondisikan. Dari awal proses penyidikan di kejaksaan,
sebenarnya dari notaris sudah keberatan.
“Sudah mau disomasi
juga. Ini kan memberikan keterangan palsu. Waktu itu penyidik bilang, nggak
usah begini-begini. Kami (Jaksa) sudah tahu. Pembuatan musy-des itu
dilakukan oleh Joko Waluyo (Sekdes).
Laptopnya dia, di rumahnya dia, yang ngetik dia sendiri,” ungkapnya.
Katanya (Sekdes)
copy-paste dan ada ukuran-ukuran tanah. Buktinya, Cuma dua lembar dan tidak ada
ukuran-ukuran seperti yang disampaikan oleh Sekdes.
“Untuk keterangan dari
saksi-saksi tadi, semuanya baik. Tidak ada yang menyatakan bahwa Bu Nafi ada di
situ dan tahu soal harga. Soal deal harga dan segala macam oleh Pak Winarto dan
orang-orang lain. Untuk klien kami (Bu Nafi), tidak tahu menahu sama-sekali
soal harga itu. Juga tidak ikut rapat dan tentukan harga,”ucapnya.
Menurut PH Heru Nugroho
SH, keterangan saksi-saksi sementara ini dari kemarin sampai hari ini, meskipun
sempat ada yang tidak mengakui. Begitu kita tunjukkan bukti alat surat, dia
ngakui. Untuk kuasa jual, katanya tidak tanda tangan. Setelah ditunjukkan bukti
surat, dia ngakui.
Sedangkan mengenai manipulasi BPHTB Rp 432 juta, itu dituduhkan pada semuanya, perbedaan persepsi antara penyidik Kejaksaan dengan kondisi yang ada.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaannya, mendalilkan seperti itu
karena transaksi itu berdasar jual-beli.
Sedangkan dalam akta pelepasan itu dasarnya bukan jual-beli,tetapi harga
pasar. Itu ada Perbup-nya, Perbup No. 19 Tahun 2021, dan Perbup No 37.
“Ada tiga areal yang saya sampaikan di depan majelis hakim. Ada yang harga pasarnya Rp 86 ribu, ada yang Rp 100 ribu, dan yang paling tinggi harga pasarnya Rp 250 ribu. Sementara harga pasar yang digunakan Rp 350 ribu. Berarti negara diuntungkan. Tetapi dasarnya jual-beli (oleh Jaksa),” cetus PH Heru Nugroho SH.MH. (ded)

0 komentar:
Posting Komentar