SURABAYA (mediasurabayarek.com) - Pemerintah/Presiden tidak boleh menetapkan harga/tarif/nilai tukar/ barang dan /atau jasa publik itu semua, tanpa persetujuan DPR-RI/DPRD Provinsi/Kota/Kabupaten di masing-masing daerah.
Hal itu tertuang dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang telah mengatur secara tegas dan jelas mengenai hal itu.
"Jadi, kalau ada pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) wajiba ditolak, karena melanggar hukum perlindungan konsumen," ucap Ketua YLPK Jawa-Timur , M Said Sutomo.
Hal ini berbeda dengan kewajiban masyarakat konsumen yang membayar barnag dan /atau jaa yang dibeli/dikonsumsi sesuai dengan nilai tukar yang disepakati dengan pelaku usaha.
Kesepakatan nilai tukar/harga/tarif itu bisa dilakukan dengan secara mandiri masing -masing konsumen dengan pelaku usaha.
Akan tetapi, ada yang tidak bisa dilakukan secara mandiri oleh masing-masing masyarakat konsumen jika membeli/mengkonsumsi terkait barang/atau jasa publik.
Ini karena barang/atau jasa publik itu jika menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak bisa berupa Bahan Bakar Minyak (BBM)/listrik/air PDAM/ angkutan umum ekonomi perkotaan/desa dan lainnya.
Mengenai kesepakatan nilai tukarnya antara operator/pelaku usaha, regulator/pemerintah wajib berdasarkan kesepakatan dengan wakil rakyat (DPR) di Parlemen.
"Tidak boleh Pemerintah/Presiden menetapkan harga/tarif/nilai tukar/ barang dan /atau jasa publik itu semua, tanpa persetujuan DPR-RI/DPRD Provinsi/Kota/Kabupaten di masing-masing daerah. Sebab hal itu sudah diatur dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, " ujar Ketua YLPK Jawa-Timur , M Said Sutomo.
Menurut Said Sutomo, apabila ada pelanggaran UUPK wajib ditolak, karena melanggar hukum perlindungan konsumen. (ded)

0 komentar:
Posting Komentar