SURABAYA (mediasurabayarek.com) - Sidang lanjutan terdakwa Stefanus Sulayman, yang tersandung dugaan perkara penggelapan, kini dengan agnda replik (jawaban Jaksa atas pledoi terdakwa), yang digelar di ruang Tirta 1 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (20/10/2022).
Dalam repliknya , Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rakhmat Hari Basuki SH dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa-Timur menyatakan, bahwa Jaksa tidak sependapat dengan pledoi dari Ketua Tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa, Ben D Hadjon SH.
"Kami tidak sependapat dengan pledoi Tim Penasehat Hukum terdakwa. Maka pledoi terdakwa haruslah ditolak," ucapnya.
Menurut JPU Rakhmat Hari SH, bahwa Ikatan Jual Beli dan Kuasa Jual yang dibuat notari Maria Baroroh SH MKn belum dibatalkan. Namun, peralihan hak atas aset milik Harto Wijoyo beralih secara melawan hukum.
"Kami memohon pada majelis hakim agar pledoi terdakwa ditolak seluruhnya. Dan dijatuhi hukuman pidana, sebagaimana mestinya. Kami tetap pada surat tuntutan Jaksa," ujarnya.
Setelah pembacaan replik oleh Jaksa dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua Tongani SH MH mengatakan, sidang akan dilanjutkan pada Kamis (3/11/2022) dengan agenda pembacaan duplik yang disampaikan oleh Penasehat Hukum terdakwa.
Sehabis sidang, Ketua Tim PH terdakwa, Ben Hadjon SH mengungkapkan, replik yang disampaikan Jaksa itu tidak ada yang baru, itu kan narasi yang diulang-ulang dari sejak dakwaan sampai tuntutan sama aja
"Narasinya tentang blangko kosong, jam pelunasan di Malang, itu kan sudah saya uraikan secara jelas. Intinya, menyangkut jam pelunasan di Malang, faktanya dia tanda tangan di situ. Narasi blangko kosong tinggalkan. Dia tanda tangan di Hotel Sheraton dan banyak saksi di sana," katanya.
Kalau Harto Wijoyo tanda tangan akta jual beli berarti dia tidak menuntut. Itu kan terlalu subyektif. Namanya seseorang bisa mempersalahkan sesuatu yang tidak berdasarkan fakta.
Kedua, lanjut Ben Hadjon SH, menyangkut putusan perdata, Jaksa tidak membaca pertimbangan, memang putusan itu menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
"Tetapi pertimbangan menyatakan bahwa yang saya ingat, pada pokoknya bahwa seseorang menuntut sesuatu hak pemenuhan prestasi pihak lain. Maka seyogyanya, dia juga memenuhi prestasi lebih dulu. Karena Harto Wijoyo belum membayar kewajibannya, maka gugatannya tidak sempurna. Yang dibaca jangan hanya di putusan, tetapi pertimbangan," cetusnya.
Menyangkut peradilan itu, hanya uji formil. Dua alat bukti subtsnasi dan bukti surat sudah terpenuhi. Tetapi, materiilnya di persidangan. Dalil perkara ini sangat dipaksakan, semuanya atas keterangan Harto Wijoyo.
"Selain itu, pelanggaran paska perjanjian dan repo dilanggar benar, apakah bukan wanprestasi. Faktanya, Harto Wijoyo tidak membayar Rp 9 miliar lebih. Sehingga tindakan menjual itu sah," ungkap Ben Hadjon SH.
Sedangkan, keterangan Ahli pidana Dr Sholehuddin SH MH menyatakan, prinsipnya ambil keterangan yang relevan dan keterangan ahli pidana ini bahwa pelanggaran paska perjanjian adalah wanprestasi.
"Keliru besar jika Penuntut Umum memilah-milah isi perjanjian itu. Seolah-olah ini berlaku dan ini tidak berlaku. Perjanjian itu harus dilihat sebagai sesuatu yang utuh," tukasnya.
Dijelaskan Ben Hadjon SH, bahwa terdakwa Stefanus Sulayman tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 372 KUHP dan pasal 266 KUHP.
"Terdakwa Stefanus Sulayman harus dibebaskan dari dakwaan Penuntut Umum. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedukan , harkat dan martabatnya," tandasnya.
Dalam pledoi pada sidang sebelumnya, bahwa fakta persidangan secara terang benderang membuktikan bahwa keterangan saksi korban (Harto Wijoyo) mengandung ketidak benaran dan hanya merupakan alibi yang tidak berdasar untuk melepaskan diri dari tangungjawabnya sebagai penjual yang telah menjual obyek, berupa tanah dan bangunan, baik kepada terdakwa maupun kepada Hendra Themailatu.
"Kami Penasehat Hukum terdakwa secara tegas menolak alibi tanpa dasar yang sengaja dibangun oleh Harto Wijoyo tentang tanda tangan di blanko kosong tersebut , karena kami masih mempunyai rationalitas untuk dapat menilai apa yang sesungguhnya merupakan fakta dan apa yang merupakan alibi tanpa dasar dan hanya merupakan jurus berkelit semata dari Harto Wijoyo," kata Ben Hadjon SH.
Dijelaskannya, bahwa Harto Wijoyo bukan merupakan penjual yang jujur. Perkara a quo sangat dipaksakan untuk diajukan di persidangan dan eksistensi perjanjian repo aset tidak relevan dibahas dalam perkara a quo, apalagi menjadi pokok permasalahan.
Mengutip pendapat ahli Prof Dr Y Sogar Simamora SH Mhum, menerangkan bahwa di dalam pasal 1865 BW/KUH Perdata mengenai akta otentik, di mana bila suatu akta dituangkan dalam suatu akta otentik maka kekuatan pembuktiannya adalah sempurna.
Kemudian bila terjadi masalah maka sepanjang belum pernah dibatalkan oleh pengadilan aka akta otentik tetap berlaku sah.
Sedangkan menurut ahli Habib Adjie SH Mhum menyatakan, bahwa sepanjang akta belum pernah dibatalkan baik dibatalkan oleh para pihak sendiri maupun pengadilan, tetap berlaku asas praduga sah, yakni akta tetap sah.
Sehabis sidang, Ben Hadjon SH menyatakan, tuntutan penuntut umum hanya didasarkan keterangan Harto Wijoyo semata. Sementara keteranga Harto Wijoyo tidak punya nilai pembuktian, karena keterangan berdiri sendiri dan tidak didukung dengan alat bukti lain. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar