SURABAYA
(mediasurabayarek.net) – Kini giliran pihak Tergugat (Sudir dan Cholifah) menghadirkan
2 (dua) saksi, dalam sidang lanjutan gugatan Perbuatan Melawan
Hukum (PMH) yang diajukan oleh Sunarti (Penggugat) melawan Sudir dan Cholifah
(Tergugat) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Kedua saksi itu adalah Mukayah
dan Marsudi yang diperiksa secara bersamaan di hadapan Hakim
Ketua Ega Shaktiana SH. MH dan Hakim Anggota, Alex SH dan M.Zulqarnain SH
MH di ruang Candra PN Surabaya, Senin (30/6/2025).
Dalam keterangannya,
saksi Mukayah menyatakan, dia bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di
rumah yang beralamat di Jl Jagir Sidomukti
32, Surabaya. Dan dia ikut pindah dan bekerja di Pandaan.
“(Seingat dia-red) Kondisi bangunan tidak
dirubah. Bangunan pertamanya dimiliki Amir Hamsyah,” ucapnya ketika ditanya
oleh Kuasa Hukum Tergugat di persidangan.
Sementara itu, saksi
Marsudi menyebutkan, dia kenal dengan Sudir dan Sunarti. Saksi mengenal Sunarti,
sebelum pindah ke Pandaan. Memiliki usaha air aki dan diprotes warga setempat hingga kelurahan, karena baunya (menyengat-red).
“Katanya (dengar-dengar-red)
rumah itu dijual kepada H Mahfud. Mahfud adalah teman jamaah masjid. Akan tetapi, Mahfud
tidak pernah mengatakan kontrak di sini. Dengar-dengar dari Sudir, ada jual-beli rumah,”
ucapnya.
Menurut Marsudi, surat
rumah itu kayaknya surat ijo dan tanahnya milik Pemerintah Kota (pemkot)
Surabaya. Selama itu, tidak ada masalah dan tidak ada komplain.
Kini Kuasa Hukum
Penggugat, yakni Sumardan SH MH bertanya
pada saksi Marsudi, apakah tahu surat ijo atas bangunan itu atas nama Sunarti ?
“Sampai sekarang ini,
saya kurang tahu Pak tentang hal itu. Atas nama siapa, saya tidak tahu ,” jawab
saksi.
Kini gantian saksi Mukayah yang
ditanyai oleh Kuasa Hukum Sumardan SH mengenai apakah Sunarti menjual ke H
Mahfud itu ditunjukkan bukti jual-belinya ?
“Saya tidak pernah
ditunjukkan bukti jual-belinya itu. Saya juga tidak jadi saksi atas jual -beli itu. Perihal
harga, saya juga tidak tahu,” jawab saksi.
Kembali Kuasa Hukum
Sumardan SH bertanya pada Mukayah, apakah tahu soal akta atau kwitansi
pembelian atas bangunan itu ?
“Saya tidak tahu soal
akta dan kwitansi itu,” jawab Mukayah lagi, yang sangat terbatas pengetahuannya
soal bangunan di Jl. Jagir Sidomukti tersebut.
Tak mau ketinggalan, Hakim
Ketua Ega Shaktiana SH. MH bertanya pada saksi
Mukayah, apakah H Mahfud itu orang kaya ?
“Ya, rumahnya banyak Pak
Hakim. Pak Mahfud punya rumah di Jl Sidoyoso, Jl, Ketintang dan rumah di Jl.
Bulak Banteng. Mengenai beli rumah Sunarti, harga berapa, saya tidak tahu, Pak ” jawab saksi
lagi.
Majelis hakim bertanya lagi
kepada saksi, terakhir rumah itu ditempati oleh siapa. Saksi tahu dan bisa
jawab ?
“Terakhir rumah itu,
ditempati Sudir, Pak Hakim,” jawab saksi Mukayah dengan nada tenang.
Majelis hakim
memerintahkan untuk dilakukan PS (Pemeriksaan Setempat) sebelum 11 Juli 2025,
jam 08.00 pagi.
Sehabis sidang, Kuasa
Hukum Sumardan SH mengatakan, saksi Mukayah dan Marsudi tidak mengetahui surat
ijo itu atas nama siapa. Padahal, surat ijo atas nama Sunarti sampai sekarang
ini.
“Ibu Sunarti baru tahu oleh Pak Mahfud dijual rumah itu,
setelah Pak Sudir datang ke Pandaan untuk meminta balik nama. Datang ke sana,
baru tahu kalau sudah dijual, gitu lho. Ibu Sunarti tidak mengerti kalau obyek
itu dijual, oleh Mahfud ke Pak Sudir,” cetusnya.
Sunarti baru tahu
sekitar tahun 2022- 2023, pak Sudir datang ke Pandaan. Menemui Sunarti untuk
minta menandatangani surat. Datang kedua, untuk minta ditandatangani akta
jual-beli.
“Oleh Bu Sunarti ditolak,
karena dia merasa tidak pernah menjual rumah itu. Dia lalu menunjukkan
kwitansi-kwitansi antara suami Sunarti (Longgawanto) dengan H Mahfud. Tetapi tanda
tangan pada kwitansi tidak sama atau tidak serupa. Beda jauh bentuk tanda tangannya. Pada kwitansi tertera nilainya Rp 10,5 juta pada tahun 82-an. Padahal,pada waktu itu disewakan. Pak Longgawanto
juga menolak,” tandas Sumardan SH.
Keterangan kedua saksi
itu hanya mendengar dari orang lain, mereka tidak mengetahui secara langsung.
Saksi -saksi ini hanya mendengar dari orang lain dan tidak bisa dijadikan alat
bukti.
“Jadi kesaksian mereka
itu tidak benar. Mengenai harga dan semuanya, juga tidak tahu dan hanya
cerita-cerita belaka. Intinya Bu Sunarti dan Pak Longgawanto tidak pernah
menjual rumah itu,” tukasnya.
Nah, kalaupun misalnya
dianggap benar menjual, suaminya (Longgawanto) tidak berhak menjual rumah itu.
Karena atas nama Sunarti. Benda tidak bergerak itu, menurut PP No. 10 Tahun 1962 dan PP No 24. Tahun 1947 itu,
tentang pendaftaran tanah, bahwa benda yang tidak bergerak itu harus dijual
dengan akta jual-beli lewat PPAT.
“Jadi tidak bisa jual
rumah itu dengan bukti berupa kwitansi. Jual-beli sepeda motor dengan kwitansi
saja, bermasalah kok. Kalau seandainya pernah menjual, bisa dipaksa saat itu.
Maka, dia tolak,” kata Sumardan SH mengakhiri wawancara dengan media massa di PN
Surabaya. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar