“Ya, kami akan bacakan memori PK-nya Yang Mulia,” jawabnya yang membacakan pokok-pokoknya saja di ruang Cakra di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Rabu (4/6/2025).
Dalam memori PK, Dr. Hufron SH.MH dan Berliane SH .M.Kn menyatakan, bahwa karena putusan Nomor : 121/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Sby tanggal 11 Maret 2025 telah berkekuatan hukum tetap. Maka selanjutnya Pemohon Peninjauan Kembali menyampaikan memori Peninjauan Kembali.
“Bahwa PK ini diajukan dengan alasan sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 263 ayat (2) huruf e KUHAP yakni putusan tersebut jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata yang
akan dijelaskan lebih lanjut pada
poin-poin berikutnya,” ucapnya.
Menurutnya, Pengadilan
TIPIKOR Surabaya tidak memiliki kewenangan
untuk memeriksa dan mengadili perkara a-quo. Mengingat peristiwa yang didakwakan terhadap Pemohon PK adalah berkaitan dengan pemberian kredit oleh PT BPR Hambangun Artha Selaras (HAS) kepada
Pemohon PK pada tahun 2020.
Ini tertuang dalam perjanjian kredit Nomor :
199/PK/HAS/2020 tanggal 13 Oktober 2020
sebesar Rp 600 juta. Perjanjian kredit yang di kemudian hari Pemohon
PK tidak dapat melunasi kredit tersebut sesuai dengan
perjanjian kredit.
Hubungan
hukum yang demikian adalah hubungan hukum utang-piutang (perdata). Pemohon PK memiliki utang terhadap BPR HAS dan BPR HAS memiliki piutang terhadap Pemohon
PK .
Pemohon PK yang tidak dapat membayar utangnya secara
tepat waktu sesuai dengan perjanjian
kredit tersebut tentunya
dikualifikasikan sebagai perbuatan ingkar janji (wanprestasi). Bukan perbuatan melawan
hukum.
Hal yang demikian juga ditegaskan dalam pasal 8 ayat (3) huruf
f Perjanjian kredit :”….. namun apabila
ternyata Peminjam dalam keadaan tertentu,
atau dinyatakan pailit, atau tidak mampu lagi membayar dan sudah tidak bisa melunasi
seluruh pinjamannya tepat pada waktunya……..
maka para pihak sepakat menyatakan
peminjam dalam keadaan ingkar janji.
Oleh karena hubungan
hukum yang terjadi adalah hubungan hukum
utang -piutang /ingkar janji (perdata). Tentu Pemohon PK tidak boleh diadili / dituntut atas dasar
ketidakmampuan membayar utang, sebagimana dikuatkan berdasarkan ketentuan pasal 19 ayat (2)
Undang-UndangNomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia : “ Tidak
seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana
penjara atau kurungan berdasarkan
atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piutang.
Selain itu, apabila
Pemohon PK didalilkan tidak dapat
membayar utangnya sesuai perjanjian kredit, maka langkah penyelesaiannya
haruslah mengacu pada ketentuan yang
diatur di dalam perjanjian kredit
tersebut sebagaimana asas “pacta sunt servanda’ dalam pasal 1338 KUHPerdata.
Bahwa di dalam pasal 10
perjanjian kredit diatur secara jelas
mengenai forum penyelesaian sengketa
mengenai perjanjian kredit ini dan
segala akibat hukumnya, para pihak telah
sepakat memilih tempat kediaman hukum
yang tetap pada kantor Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Kabupaten Tulungagung.
Andaikata dalam
peristiwa pemberian kredit tersebut
terdapat unsur pidana , maka seharusnya
yang diterapkan adalah UU Perbankan, bukan UU Pemberantasan TIPIKOR sebagaimana keterangan Ahli Dr. M. Sholehuddin SH .MH di
persidangan yang justru tidak
dipertimbangkan oleh majelis hakim,
mengingat dasar hubungan hukum
yang terjadi adalah peristiwa kredit
perbankan.
Di samping itu,jika
ternyata peristiwa a-quo tidak memenuhi pasal-pasal di dalam UU Perbankan, maka seharusnya penegakan hukumnya kembali mengacu pada KUHP, dan tidak bisa
loncat kepada UU Pemberantasan TIPIKOR.
Nah, berdasarkn hal-hal
tersebut, maka dapat diketahui Pengadilan TIPIKOR pada Pengadilan Negeri Surabaya tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadili perkara a quo, baik secara absolut
maupun relatif.
Sehingga putusan
Pengadilan TIPIKOR pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor:
121/Pid.Sus-TPK/2024/Pn.Sby tanggal 11 Maret 2025 yang tetap menjatuhkan pidana
penjara terhadap Pemohon PK atas dasar
UU Pemberantasan TIPIKOR adalah menunjukkan adanya kekhilafan hakim atau
kekeliruan yang nyata.
Dijelaskan Dr. Hufron
SH.MH, bahwa tidak ada kerugian negara
dalam perkara a quo. Sebelum perkara a quo dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut
Umum kepada Pengadilan TIPIKOR pada Pengadilan Negeri
Surabaya , sebenarnya Pemohon PK
telah telah melunasi kreditnya kepada
BPR HAS. Bahkan Pemohon PK melunasi melebihi
100 % dari kreditnya, yakni nilai kredit
Rp 600 juta, tetapi telah dilunasi sebesar Rp 781.499.250.
Dengan demikian,
sebenarnya sudah tidak ada lagi kerugian
keuangan negara yang dialami oleh BPR
HAS, sebagaimana yang didalilkan di dalam surat dakwaan Penuntut Umum.
Di samping itu, tidak
ada penetapan dari Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia (BPK-RI) yang menyatakan ada kerugian keuangan
negara dalam perkara a quo. Padahal,
BPK-RI lah satu-satunya instansi yang
memiliki kewenangan konstitusional untuk menyatakan ada atau tidaknya kerugian
keuangan negara. Hal tersebut, menunjukkan
adanya kekhilafan hakim atau
kekeliruan yang nyata.
Bahwa kerugian BUMN (BUMD)
bukan kerugian negara. Andaikata dalam permasalahan kredit Pemohon PK pda BPR
HAS terdapat kerugian negara, seharusnya
majelis hakim tingkat pertama mempertimbangkan ketentuan pasal 4 B UU BUMN, sebagai dasar di dalam pertimbangan hukumnya. Sehingga
pemohon PK tidak dapat dijatuhi putusan
pemidanaan.
Pemohon PK telah dikriminalisasi dalam perkara a quo. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebenarnya telah tegas menyebutkan bukan hanya Pemohon PK saja yang kreditnya pada BPR HAS sempat berstatus kolektibilitas 5 (macet). Melainkan juga masih ada terdapat debitur/nasabah lainnya.
Dalam peridangan diperoleh fakta -fakta hukum sebagai berikut : …..karena ternyata bukan hanya debitur terdakwa Mochammad Rifangi yang mengalami kredit macet, tetapi masih ada para debitur lain sebanyak 19 debitur dari 25 debitur inti yang mengalami kredit macet
(kolektibilitas 5).
Hal ini menunjukkan adanya
dugaan penegakan hukum yang dilakukan secara ‘tebang-pilih’ dengan
mengkriminalisasi Pemohon PK yang apabila dibiarkan tentu
akan menjadi preseden buruk bagi
penegakan hukum di kemudian hari.
Pemohon PK tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban hukum
atas pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan TIPIKOR.
Pemohon PK tidak pernah memiliki niat untuk mengajukan kredit dengan melampirkan dokumen palsu. Karena pemohon PK hanya
berniat untuk membantu Subandi saja.
Dokumen surat pesanan (SP) yang
dilampirkan di dalam permohonan kredit tersebut diterima oleh Pemohon PK dari Subandi.
Sebagai orang yang sudah
lama bekerjasama dan mengetahui Subandi
memang memiliki usaha di bidang penyediaan
alat Kesehatan. Pemohon PK tentu percaya dengan Surat Pesanan yang diberikan
oleh Subandi.
Terlebih lagi, sebelumnya Pemohon PK juga pernah membantu Subandi untuk mengajukan kredit dengan system/cara yang sama
dan tidak pernah ada masalah,
karena kredit yang diajukan sebelumnya
juga dapat terbayarkan.
Bahkan di dalam
persidangan Subandi juga menerangkan
tidak pernah memberitahu Pemohon PK. Kalau ternyata Surat Pesanan tersebut tidak benar (ditandatangani
sendiri). Andaikata dari awal Subandi
jujur memberitahukan hal tersebut kepada Pemohon PK , tentu Pemohon
PK tidak akan mengajukan kredit.
Berdasarkan hal-hal
tersebut di atas, Dr. Hufron SH.MH menyatakan, memohon kepada Ketua Mahkamah Agung RI Cq. Majelis
Hakim PK yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memberi putusan dengan amar, menerima
permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon
PK.
“Membatalkan Putusan Nomor : 121/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Sby
tanggal 11 Maret 2025 yang dimohonkan
Peninjauan PK tersebut. Menyatakan terpidana Moch. Rifangi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana, sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa penuntut Umum
(JPU) dalam dakwaannya,” katanya.
Membebaskan terpidana M.
Rifangi dari dakwaan JPU
atau setidak-tidaknya melepaskan
terpidana M. Rifangi dari segala tuntutan hukum. Memulihkan harkat dan martabat
serta merehabilitasi nama baik terpidana M. Rifangi.
Dan memerintahkan kepada Penuntut Umum untuk mengembalikan Sertifikat
Hak Milik Nomor 400 atas nama Kamsijah yang terlampir dalam dokumen kredit kepada
terpidana M. Rifangi dan membebankan segala biaya yang timbul dalam perkara ini
kepada negara.
Apabila majelis hakim terdapat keragu-raguan dalam memutus perkara ini, berdasarkan azas “ In Du Beo Pro Reo” , maka yang harus diambil keputusannya adalah yang menguntungkan bagi terpidana M. Rifangi.
Sementara itu, Termohon Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Pasuruan yang diwakili oleh Jaksa Ashari Setia SH menyampaikan tanggapan Penuntut Umum, bahwa menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TIPIKOR., bahwa BPR HAS itu sahamnya 99 % milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blitar, karenanya masuk kerugian keuangan negara.
Adanya pengembalian kerugian negara itu tidak menghapuskan pidana. Dan Pengadilan TIPIKOR Pengadilan Negeri Surabaya yang telah memutus perkara M. Rifangi sudah sesuai dan tepat. Alasan terpidana Pemohon PK Moch. Rifangi tidak mendasar.
Kesimpulannya, Penuntut Umum memohon majelis hakim PK memutuskan menolak PK yang diajukan oleh Moch, Rifangi. Dan putusan TIPIKOR tetap sah dan berlaku.
Setelah Penuntut Umum menyampaikan tanggapannya atas permohonan PK dari Moch, Rifangi. Hakim Ketua Cokia SH mengatakan, sidang diskorsing dulu dan akan dilanjutkan dengan Penandatanganan Berita Acara di ruang Cakra Pengadilan TIPIKOR Surabaya. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar