“Mengadili menyatakan
eksepsi Dian Ariyani tidak dapat
diterima atau ditolak. Memerintahkan Penuntut Umum untuk melanjutkan sidang
pokok perkara. Dan menangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir,”
ujar Hakim Ketua Ferdinand Marcus Leander SH MH dalam amar putusan sela
yang dibacakan di ruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)
Surabaya, Kamis (31/7/2023).
Pertimbangan majelis
hakim menolak eksepsi adalah dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah diberikan tanggal, ditandatangani, dan
diuraikan secara lengkap. Maka surat dakwaan itu adalah sah dan sesuai
peraturan hukum.
Selain itu, menurut majelis
hakim, penghitungan kerugian keuangan negara bisa dilakukan oleh BPKP, Insepktorat,
dan auditor, bukan hanya BPK saja. Dapat berkoordinasi di luar BPK dan dapat
dijadikan rujukan untuk membuktikan kebenaran materiil.
“Memberikan kebebasan
hukum untuk menentukan kerugian negara. Dapat pula diperintahkan penyidik
dengan auditor. Oleh karenanya, eksepsi Dian Ariyani tidak dapat diterima. Perintahkan
penuntut umum untuk lanjut pokok perkara. Tangguhkan biaya perkara sampai putusan
akhir, Dian Ariyani,” ucap majelis hakim.
Nah, setelah membacakan
amar putusan sela, Hakim Ketua Ferdinand Marcus Leander SH MH menyatakan, sidang
berikutnya adalah pemeriksaan saksi-saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada
Kamis, 7 Agustus 2025 mendatang.
“Silahkan Jaksa
menghadirkan saksi-saksinya pada sidang pembuktian pokok perkara pada Kamis
(7/8/2025) jam 1 siang ya,” cetus majelis hakim seraya mengetukkan palunya
sebagai pertanda sidang selesai dan ditutup.
Sehabis sidang, Andika
Putra Pratama SH mengatakan, hasil putusan sela hari ini eksepsi dari 3 (tiga) Penasehat
Hukum (PH) terdakwa, ditolak atau tidak dapat diterima semuanya.
“Artinya prosesnya akan
kembali ke pembuktian pada minggu depan. Tepatnya pada hari Kamis, 7 Agustus 2025.
Kita siap untuk pembuktian pokok perkara, bahwa Bu Dian memang ada unsur
kelalaian. Tetapi, di dalamnya ada unsur penipuan, dalam artian “dijebak”. Kita
akan buktikan dalam proses pembuktian nantinya,” ungkap PH Andika Putra Pratama
SH.
Sebagaimana dalam surat
dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) ,
disebutkan bahwa kasus ini bermula saat tahun 2023, KONI Kota Kediri menerima
bantuan dana hibah berupa uang melalui SKPD Dinas Kebudayaan, Pariwisata,
Kepemudaan, dan Olahraga senilai Rp 10 miliar yang terbagu untuk beberapa
kegiatan.
Namun ditemukan fakta,
bahwa Mantan Ketua KONI, Kwin Atmoko, Bendahara Dian Ariyani, dan Wakil
Bendahara Arif Wibowo, diduga melakukan penggelembungan penggunaan anggaran
(mark-up) dana hibah untuk kegiatan pembayaran uang Puslatkot (Pusat Latihan
Kota) pelatih dan atlet, pembayaran uang saku pelatih dan atlet untuk kegiatan
Porprov (Pekan Olahraga Provinsi) Jatim VIII Tahun 2023, dan belanja
transportasi angkutan.
Disebutkan pula dalam
dakwaan Jaksa, bahwa ada tiga terdakwa dalam kasus korupsi dana hibah
KONI Kota Kediri. Yakni Mantan Ketua KONI, Kwin Atmoko, Bendahara Dian Ariyani,
dan Wakil Bendahara Arif Wibowo.
Ketiganya dinilai
menjadi orang yang paling bertanggungjawab atas kasus korupsi di tubuh
KONI. Sementara kerugian penyalahgunaan anggaran itu sebesar Rp 2,4 miliar.
Dari hasil pengusutan
Jaksa, ketiga terdakwa diduga melakukan mark-up penggunaan anggaran dana hibah untuk kegiatan pembayaran uang Puslatkot (Pusat Latihan Kota) pelatih dan
atlet, pembayaran uang saku pelatih dan atlet untuk kegiatan Porprov (Pekan Olahraga
Provinsi) Jatim VIII Tahun 2023, dan belanja transportasi angkutan.
Hasil audit Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) , negara dirugikan sebesar Rp 2,409
miliar dari total anggaran hibah sebesar Rp 10 miliar. Dana tersebut diduga
diselewengkan dalam berbagai kegiatan, termasuk pembayaran honor yang tidak
sesuai dengan jumlah dan waktu.
Dalam dakwaan primair,
melanggar pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana
telah diubah dengan Undang- Undang Nomor . 20 Tahun 2001, Jo pasal 55 ayat (1) KUHP.
Dan dakwaan
subsidiair pasal 3 Jo pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah
diubah dengan Undang- Undang Nomor . 20 Tahun 2001, Jo pasal 55 ayat (1) KUHP.
Atau kedua pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor .
20 Tahun 2001, Jo pasal 55 ayat (1) KUHP. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar