SURABAYA (mediasurabayarek.net ) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya menjatuhkan putusan sela terhadap Yuki Firmanto, yang tersandung dugaan perkara tindak pidana korupsi penggunaan dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Puskesmas Tahun Anggaran 2021 hingga 2022 di lingkungan Kabupaten Mojokerto, dengan putusan sela nota keberatan (eksepsi) tidak dapat diterima dan perintahkan Penuntut Umum untuk melanjutkan sidang pokok perkara.
“Mengadili menyatakan eksepsi Yuki Firmanto tidak dapat diterima dan memerintahkan Penuntut Umum untuk melanjutkan pemeriksaan pokok perkara. Tangguhkan biaya perkara sampai putusan akhir,” ucap Hakim Ketua Ratna Dianing Wulansari SH dalam amar putusannya yang dibacakan di ruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Rabu (13/8/2025).
Menurut majelis hakim, setelah
membaca dan meneliti, bahwa telah diuraikan dalam keberatan (eksepsi) Penasehat
Hukum bahwa dakwaan Jaksa tidak cermat,
lengkap dan kabur. Dalam hal ini, majelis hakim tidak sependapat dengan eksepsi Penasehat Hukum.
“Majelis hakim menilai
eksepsi telah masuk pokok perkara. Bahwa dakwaan Jaksa telah sesuai dan disusun
secara lengkap dan cermat. Oleh
karenanya, majelis hakim berpendapat eksepsi Yuki Firmanto harus dikesampingkan
dan tidak dapat diterima,” ujarnya.
Dan selanjutnya, agenda sidang berikutnya adalah pemeriksaan saksi-saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Rabu, 27 Agustus 2025 mendatang.
“Pak Jaksa rencananya
akan menghadirkan saksi berapa banyak pada sidang berikutnya,” tanya majelis
hakim kepada Jaksa Dio Novi Andri SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Mojokerto.
Jaksa Dio Novi SH
menjawab, pihaknya akan menghadirkan saksi sebanyak 15 orang pada sidang
berikutnya.
“Baiklah, sidang
berikutnya akan dilaksanakan Rabu (27/8/2025) pagi ya,” cetus majelis hakim
seraya mengetukkan palunya sebagai pertanda sidang selesai dan berakhir sudah.
Sehabis sidang, Ketua Tim Penasehat Hukum (PH) Yuki Firmanto, yakni Iqbal Shavirul Bharqi SH MH didampingi Teguh Budi Cahyono SH, MH mengatakan, eksepsi tidak dapat diterima dan siap melanjutkan sidang pokok perkara.
“Eksepsi Yuki ditolak,
kami sangat siap melanjutkan sidang pokok perkara ini. Kami juga akan
buka-bukaan. Perkara pidana tidak bisa berdiri sendiri, setidaknya kami akan
menggali fakta melalui fakta persidangan. Apakah ada keterlibatan pihak-pihak
lain, karena dalam perkara yang kami dalami ini, ada orang lain yang harus ikut
dalam perkara ini (jadi tersangka),” jelasnya.
Diduga ada keterlibatan Ketua PKPAB (Pusat Kajian Pengembangan Akuntansi dan Bisnis) dan Bendahara PKPAB Universitas Brawijaya.
“Klien kami hanya
pelaksana saja terhadap 9 puskesmas. Ini
kan yang dipermasalahkan 27 puskesmas. Sedangkan 2 pelaksana lainnya tidak ikut
dalam materi perkara ini. Juga terseret
sebagai tersangka pula. Kemudian Ketua
PKPAB, yaitu Dr, Drs, Bambang Hariadi ,M,EC,AK dan Bendahara PKPAB yaitu Laila Fitriyah LH, SE, MSA , kok tidak dijadikan tersangka.
Ini kan janggal,” katanya.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) disebutkan bahwa PKPAB Universitas Brawijaya ini melakukan potongan
fee 5 % secara liar. Potongan apa ini ?
Padahal, dalam RAB itu tidak ada.
“Mereka yang melakukan potongan
liar ini , kok tidak dijadikan tersangka. Ini kan juga janggal,” katanya.
Namun, JPU sama-sekali tidak menjadikan Ketua dan
Bendahara PKPAB Universitas
Brawijaya serta 2 (dua) Ketua Pelaksana lainnya menjadi tersangka, selain terdakwa Yuki Firmanto sebagai tersangka.
Lagi pula, lanjut Iqbal SH, bahwa faktanya program pendampingan itu telah selesai dan tuntas.
"Kami
punya video dan bukti-bukti lain, bahwa pihak puskesmas berterima kasih atas
pendampingan ini. Mereka merasa ada pengalaman baru dan pengetahuan baru yang mereka bisa lakukan. Karena teman -teman
Puskesmas basicnya adalah kesehatan,” tandasnya.
Kalau yang ditransfer
knowledge-kan oleh PKPAB ini melalui klien kami dan teman-temannya adalah bagaimana
orang ini bisa melakukan kegiatan administrasi akuntansi . Sampai saat ini
masih berjalan dengan baik program ini.
“Ada dugaan Yuki Firmanto
dikorbankan. Pak Yuki tidak menerima uang sepeserpun. Dalam RAB itu jelas bahwa
tenaga pendamping itu maksimal
(delapan) kali dalam setahun. Padahal, senyatanya, tenaga pendamping
bisa seminggu sekali. Yuki professional dan tuntas pekerjaannya.,” kata Iqbal
SH mengakhiri wawancara dengan media massa di Pengadilan TIPIKOR Surabaya.
(ded)
0 komentar:
Posting Komentar