SIDOARJO
(mediasurabayarek.net) – Ahli pidana DR. Zulkarnaen SH MH dari
Universitas Widya Gama, dihadirkan oleh Penasehat Hukum (PH) Suharyono, yakni
DR. Supriarno SH. MH dalam sidang lanjutan Suharyono,
Andi Winata, Tukilan dan Hadi Kamisworo, yang tersandung dugaan perkara
korupsi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) senilai Rp 1,4 miliar tahun 2022
di Kota Blitar.
Ahli Pidana ini memberikan
keterangan dan pendapatnya di depan Hakim Ketua Ni Putu Sri Indayani SH MH dan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Agung Pambudi SH dari
Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Senin (20/10/2025).
Pertanyaan pertama dilontarkan
oleh PH DR. Supriarno SH. MH kepada Ahli, jika ada judicial gechill ada persinggungan hukum privat dan hukum
pidana. Menurut Ahli, mana yang harus didahulukan ?
“Perkara perdata bersinggungan
dengan hukum pidana, maka harus mendahulukan perkara perdata. Sedangkan perkara
pidana belakangan,” jawab Ahli.
Dijelaskan Ahli, jika
ada hubungan kontraktual dan administrasi, belum terverifikasi keperdataan, tiba-tiba
ditarik ke pidana. Maka, seharusnya digunakan
hukum administrasi. Kalaupun ada kerugian negara harus dibuktikan, sebagaimana
dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR). Harus
mendasarkan pada hasil temuan BPK mengenai adanya kerugian negara.
Kembali oleh PH DR.
Supriarno SH. MH bertanya pada Ahli, siapa yang berhak menyatakan justifikasi
tentang kerugian negara ?
“Yang berhak
menjustifikasi kerugian negara adalah BPK. Negara terpaksa membelanjakan uang
negara, yang tidak seharusnya keluar. Tetapi harus ada mens-reanya (niat
jahat), menguntungkan diri sendiri atau korporasi,” jawab ahli.
Menurut Ahli, jika
pemberi hibah melalui Kadis kepada penerima hibah (KSM/Kelompok Swadaya
Masyarakat), jika ada kesalahan maka Kadis tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Dan begitu pula dengan SK yang dikeluarkan Kadis itu tidak ada pembatalan, namun pejabat dianggap salah. Bahkan pengadilan tidak membatalkan SK tersebut. Maka pembuat SK tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
“Jika SK disalahkan dan
gaji dianggap salah. Maka wilayah hukumnya adalah hukum tata negara dan tidak
bisa dipaksakan masuk ranah pidana. Seharusnya didahulukan perdata,” ucap Ahli.
Lagi-lagi, PH DR. Supriarno SH. MH bertanya pada Ahli, jika hasil temuan BPK menyatakan tidak ada kerugian negara dan memberikan rekomendasi untuk melakukan perbaikan BAST. Dan kepala daerah melakukan rekomendasi sesuai anjuran BPK. Apakah masuk etikad baik ?
“Ada rekomendasi dan
perintahkan OPD sebagai bentuk etikad baik. Ada kelemahan yang diperbaiki sudah tidak ada catatan penyimpangan lagi. Akan tetapi, dianggap tidak sesuai
juklak dan ada kesalahan administrasi, karena pelaksana tidak beres. Namun, proyek
jalan 100 %. Maka kesalahan administrasi itu tidak bisa dipaksakan pidana.
Harus ada mens-rea nya,” kata ahli.
Selepas sidang, PH DR. Supriarno SH. MH mengatakan, faktual
dan alat bukti surat adalah kontraktual, yang artinya perdata.
“Nah kita tadi tanya
pada Ahli soal perdata dipaksakan menjadi pidana. Menurut Ahli, keperdataan
harus lebih dulu diselesaikan, tidak langsung pidana,” cetusnya.
Ternyata terungkap di
persidangan, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat adalah bagian dari policy (kebijakan), sedang yang
menerima hibah yang melaksanakan (eksekutor). Jika ada kesalahan, tidak bisa ditimpakan
bebannya kepada pemberi hibah—pemerintah daerah yang diberi tugas untuk menyalurkan dana hibah itu.
Bahwa ada rekomendasi
dari BPK yang menyatakan tidak ada kerugian negara. Dalam laporan BPK hanya
rekomendasi, verifikasi, penyempurnaan dan seterusnya. Walikota sudah
melaksanakan rekomendasi itu, dengan cara memerintahkan Kadis dan sudah
melaksanakan isi rekomendasi BPK tersebut.
“Kadis tidak bisa dinyatakan
bersalah, justru in merupakan etikad baik. Kadis tidak bisa dimintai
pertanggungjawaban pidana ,” ungkapnya. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar