SURABAYA (mediasurabayarek.net) – Kini tibalah saatnya Penasehat Hukum (PH) Teguh Prastyo Nur Widiyanto SH menyampaikan nota pembelaan (pledoi) dari Nursetya Ardhi Arima, S.Kom (marketing BRI) dan Handjar Pramudya SE (Kepala Unit BRI), yang tersandung dugaan perkara korupsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif, di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Selasa (21/10/2025).
Seusai Hakim Ketua I
Made Yuliada SH MH membuka sidang dan terbuka untuk umum, PH Teguh Prastyo SH langsung
membacakan pledoinya di depan majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ratno
Timur SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Pacitan.
Dalam pledoinya, Teguh
Prastyo SH menyebutkan, Nursetya Ardhi Arima memohon kepada majelis hakim untuk
menyatakan menerima pledoi (pembelaan) kuasa hukum Nursetya untuk seluruhnya.
“Menyatakan menolak
seluruh dalil-dalil dalam surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau
setidak-tidaknya menyatakan tidak dapat diterima. Dan menyatakan JPU tidak
dapat membuktikan salah satu dari unsur delik yang ada, pasal 2 ayat (1) jo
pasal 18 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana,
sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,”
ucapnya.
Atau
setidak-tidaknya perbuatan hukum yang
dilakukan yang dilakukan oleh Nursetya Ardhi Arima bukanlah perbuatan pidana,
melainkan perbuatan perdata.
“Membebaskan Nursetya
Ardh dari dakwaan primer atau setidak-tidaknya untuk melepaskan Nursetya dari segala tuntutan hukum. Memulihkan
hak-hak Nursetya dalam kemampuan,
kedudukan, harkat dan martabatnya. Memerintahkan Penuntut Umum untuk
membebaskan Nursetya dari tahanan. Membebankan biaya perkara kepada negara,” pinta
Teguh Prastyo SH.
Atau apabila majelis hakim
tetap berkeyakinan bahwa Nursetya tetap
bersalah, mohon memberikan putusan yang seringan-ringannya.
Dalam kesempatan itu,
juga disampaikan hal-hal yang meringankan , yaitu Nursetya belum pernah dihukum sebelumnya.
Nursetya adalah tulang punggung keluarga dari 1 orang istri, 2 orang anak dan kedua orang tua dan mempunyai kewajiban untuk menafkahi
keluarga.
Nursetya bersikap sopan dan
kooperatif selama persidangan berlangsung. Sebab apa yang diterangkan oleh terdakwa,
tidak berbelit-belit dan menjelaskan sebatas
apa yang diperbuat, lihat dan dialami saja.
Lagi pula, Nursetya
tidak pernah menikmati atau menerima hasil dari tindak pidana, dan tidak
menerima keuntungan dari tindak pidana.
Menurut Teguh Prastyo SH,
dalam fakta persidangan menunjukkan
bahwa Nursetya tidak pernah mengetahui ataupun menyetujui penyerahan dana
kredit kepada Sulastri. Tidak ada komunikasi atau kesepakatan untuk melakukan penyimpangan penggunaan kredit
Dan sebaliknya, terdapat
kesepakatan jahat antara Sulastri dan para nasabah sebelum proses kredit
berlangsung. Sulastri menawarkan ‘pinjam nama’ dengan imbalan uang dan mengatur
kesiapan nasabah saat survey.
Hal ini membuktikan
bahwa adanya persekongkolan (permufakatan jahat) terjadi antara Sulastri dan nasabah,
bukan antara Sulastri dan pegawai bank. Karenanya unsur ‘turut serta’ tidak
terpenuhi.
Argumen Jaksa kadang
menggandeng pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP untuk menautkan ‘turut serta’ secara
fungsional. Misalnya dengan mengklaim analisis kredit fiktif atau survei asal
jalan.
Akan tetapi di sini, dua
bantalan probatif berdiri : hasil audit internal yang menyatakan proses sesuai SOP. Dan bukti perbandingan portofolio kelolaan yang sehat, yaitu Tingkat Non Performing Loan
(NPL) nasabah di bawah pengelolaan Nursetya selama periode 2022 hanya sebesar
1,5 %.
Ini menunjukkan bahwa
secara umum metode analisis kredit valid, konsisten, dan sesuai prinsip
kehati-hatian. Dengan demikian, aspek kehati-hatian terpenuhi, kegagalan kredit
bukan akibat lemahnya analisis, melainkan fraud-pasca pencairan oleh pihak
ketiga di luar kontrol pegawai bank.
Jika tidak ada kontra
bukti kuat, maka konstruksi turut serta pada delik Tipikor terhadap pegawai bank berisiko berubah
menjadi kriminalisasi atau resiko kredit yang sepatutnya ditangani secara
perdata/administratif.
Hal ini diperkuat dengan
putusan Mahkamah Agung RI yang relevan, Putusan MA No. 1089K/Pid/2012. Dalam
perkara pejabat bank yang dituduh turut serta menyetujui kredit, Mahkamah Agung
menyatakan : apabila kredit diberikan sesuai prosedur, dan kerugian timbul
karena perbuatan pihak ketiga setelah pencairan,maka tidak dapat dikategorikan
sebagai turut serta dalam tindak pidana korupsi.
Sedangkan putusan MA
No.2476 K/Pid.Sus/2014 menyatakan bahwa mantri yang melakukan survey sesuai SOP
dan tidak menikmat hasil korupsi, tidak dapat dipersalahkan karena unsur
kesengajaan dan kesamaan kehendak tidak
terbukti.
Dan selanjutnya, dilanjutkan
dengan pembacaan pledoi dari Handjar Pramudya, yang pada intinya hampir sama
dengan pledoi dari Nursetya.
Dalam pledoinya, Teguh
Prastyo SH memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan Handjar Pramudya
terbukti tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan
jaksa.
Adanya permufakatan
jahat antara Sulastri dan 46 nasabah. Ini masalah perbankan dan bukan dikriminalisasi
sebagai korupsi. Adanya penyalahgunaan dalam kredit, nasabah dapat imbalan dan
keuntungan yang tidak sah.
Sehabis sidang, PH Teguh Prastyo SH mengatakan, terkait pledoi dengan unsur kesengajaan dan mens-rea (niat jahat) tidak ada. Juga tidak ada kesesuaian kesepakatan (meeting of mind), antara Sulastri dan Nursetya Ardhi Arima.
Justru yang terbukti dalam persidangan, adanya kesepakatan jahat antara nasabah
dengan Sulastri. Sehingga apabila terjadi kesalahan paska pencairan, itu tidak
bisa dipertanggungjawabkan kepada pegawai BRI.
“Kalau kita mau fair, yang seharusnya menjadi terdakwa, adalah para nasabah dan Sulastri. Karena di situ ada kesengajaan untuk melakukan penipuan terhadap BRI. Dalam hal ini, Nursetya dan Handjar,” cetusnya.
Sedangkan analisa yang digunakan
Nursetya Ardhi itu sudah sesuai SOP, terbukti dari hasil audit internal yang
menyatakan, bahwa SOP yang digunakan oleh Nursetya Ardhi sudah sesuai.
“Hasil Analisa selama
ini yang digunakan dalam menangani 500 nasabah , NPL-nya hanya 1,5 %. Sehingga
tidak ada masalah dengan analisanya. Ini bentuk kriminalisasi terhadap pegawai
BRI dalam melakukan kredit,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, PH
Teguh Prastyo SH mengharapkan, Nursetya Ardhi dan Handjar Pramudya seharusnya
layak dibebaskan dari dakwaan dan tuntutan hukum. (ded)
0 komentar:
Posting Komentar