SIDOARJO (mediasurabayarek.net)
- Sidang lanjutan Winarto yang tersandung dugaan perkara korupsi
pengadaan lahan pabrik mainan PT GFT Indonesia Investment di Desa Geneng, Ngawi, pada tahun 2023, dengan agenda pemeriksaan 5 (lima) saksi yang dihadirkan oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Reza Prasetya Nitisasmito SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari)
Ngawi.
Adapun kelima saksi
fakta itu adalah Moh. Aziz Romli, Gatot Wibowo, Slamet Riyad, Ahmad Irwan
(Kabid Pengelolaan), dan Hendro Wiyadi (Bank Jatim), diperiksa secara marathon
di depan Hakim Ketua Irlina SH MH didampingi Hakim Anggota Alex Cahyono SH MH,
dan Samhadi SH MH , di ruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)
Surabaya, Selasa (14/10/2025).
Dalam keterangannya, Ahmad Arwan (Kabid
Pengelolaan Pendapatan Daerah)
menyebutkan, pihaknya bertugas melakukan pengelolaan dan penerimaan pajak
daerah.
Pada tahun 2023 dan
2024, ada pembayaran Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) oleh PT GFT Indonesia Investment, yang
keseluruhannya ada 4 (empat) transaksi.
“Nilai perolehan pajak
dari obyek pajak, yang diajukan oleh PPAT atau Notaris atas nama Dirut PT GFT
Indonesia, Andre Raymond lewat Bank Jatim. Diketahui, ada 104 transaksi
dan 3 transaksi jual-beli,” ujarnya.
Menurut Ahmad Arwan,
pada 9 Desember 2023 diketahui ada pembayaran 104 transaksi yang totalnya
mencapai Rp 67 miliar. Sedangkan pembayaran BPHTB senilai Rp 3 miliar. Yang
up-load adalah Notaris Nafiaturrohmah SH Mkn.
“Harga Rp 350 ribu per
meterpersegi itu terbilang wajar. Sebab, tidak boleh harganya di bawah NJOP,”
ucap Arwan.
Sementara itu, saksi
Moh, Aziz Romli (Kabid) menyatakan, pihaknya memfasilitasi investasi di Ngawi pada
tahun 2023. Ada investor yang ingin berinvestasi di Ngawi, asalkan memenuhi
persyaratan yang cukup, yakni tersedianya pasokan listrik, air, akses jalan dan
ketersediaan tenaga kerja.
“Kami melakukan paparan
mengenai potensi di Ngawi. Andrew Raymond, Perwakilan PT GFT Indonesia datang
ke kantor. Dia tanya lahan mana saja yang bisa dijadikan tempat industry. Ada 3
pilihan yang ditawarkan, yakni di Desa Geneng, Desa Keniten dan Desa Karang Asing. Dipilihlah Desa
Geneng sebagai tempat investasi,” cetus Romli.
Selain masalah harga
tanah, juga ada keberatan beberapa warga desa yang tanahnya akan dijual pada
investor.
Diketahui Lurah memberi
harga Rp 1,5 miliar (untuk setengah bahu seluas 3.000 M2). Sedangkan kemampuan
PT GFT sekitar Rp 1,4 miliar. Namun, hal ini gagal total. Lalu minta tolong menghadap
Bupati Ngawi.
Saksi Romli mengantar untuk
menghadap Bupati dan memerintahkan Winarto memfasilitasi pengadaan tanah
tersebut. Dan ada beberapa kali rapat pertemuan di kafe, yang dihadiri oleh
Gatot, Winarto, Romli dan lainnya.
Untuk rapat pertama itu,
belum membahas soal harga. Dan rapat kedua, 'deal' untuk harga tanah Rp 1,4
miliar. Ada DP Rp 150 juta yang diserahkan , namun untuk pembayaran ke petani, saksi
Romli tidak mengetahuinya.
“Saya mendapatkan Rp 250
juta dari Winarto dan motor Honda PCX. Pemberian ini sudah saya kembalikan ke
Kejaksaan sekitar Rp 250 juta,’ cetus Romli.
Sedangkan saksi Gatot
Wibowo, selaku fasilitator menyatakan, ditelepon Winarto dan dikasih pekerjaan
untuk membantu pembebasan lahan dan melakukan pendekatan pada petani yang belum
mau menjual lahannya pada investor. Pada akhirnya, ada persetujuan harga Rp 1,4 miliar untuk
tanah ukuran satu bahu.
“(Atas pekerjaanitu-red)
Saya mendapatkan Rp 170 juta dan motor Honda PCX. Tetapi, saya baru mengembalikan uang Rp 7,5 juta pada Kejaksaan,” kata Gatot.
Sehabis sidang, Penasehat
Hukum (PH) Winarto, yakni Dwi Prasetyo Wibowo SH mengatakan, dari 5 saksi fakta
yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang paling penting adalah
keterangan dari Ahmad Arwan (Kabid Pengelolaan
Pendapatan Daerah atau Bakeu). Dalam peristiwa ini, bahwa akta yang
dikeluarkan oleh Notaris adalah akta pelepasan hak.
“Tadi saya menanyakan, ternyata
memang berbeda akta pelepasan hak dan akta jual-beli itu. Perihal pengenaan BPHTB
itu , terkait pelepasan hak didasarkan pada nilai pasar yang berlaku di Ngawi.
Yang kami garis bawahi dari pernyataan atau jawaban dari saksi Bakeu (Badan
Keuangan), selama ini tidak ada prosedur yang keliru, terkait up-load data dan
lainnya” cetus Dwi Prasetyo SH.
Berkaitan dengan
pembayaran BPHTB, yang didasarkan pada nilai pasar itu sudah betul dan semuanya
dianggap wajar. Sehingga Bakeu yang selama ini tidak punya kewajiban untuk
menagih kekurangan atau selisih pembayaran BPHTB, seperti yang didakwaan oleh
Jaksa.
“Dari keterangan tadi, tidak
ada manipulasi BPHTB,yang dilakukan Pak Winarto. Kami tetap berpegang teguh, azas praduga
tidak bersalah sampai hari ini tetap harus dihormati,” ungkapnya.
Sebagaimana dakwaan
jaksa, disebutkan bahwa anggota DPRD Ngawi dari Golkar ini diduga telah
menerima gratifikasi Rp 9,8 miliar dan dituduh telah merugikan keuangan negara
Rp 432 juta.
Winarto didakwa melangar
pasal 2 ayat (1), pasal 3. Pasal 12 b dan pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi.
Perihal kerugian negara senilai
Rp 432 juta, Winarto diduga melakukan manipulasi Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Sedangkan untuk gratifikasi yang ia terima mencapai Rp 9,8 miliar,
terindikasi setelah dari proses
pembelian tanah-tanah lainnya.
Dalam dakwaan Jaksa disebutkan
bahwa, Winarto mendapatkan proyek pembebasan lahan PT GFT Indonesia Investment yang
berlokasi di Desa Geneng pada tahun 2023.
Investor mempercayakan
Winarto untuk melakukan pembebasan lahan seluas 18 hektar dengan memberikan uang
sekitar Rp 91 miliar.
Kabarnya, uang tersebut
digunakan untuk membeli sawah milik 50 petani sekitar Rp 76 miliar, dan Rp 4
miliar untuk membayar kewajiban pajak
BPHTB, lalu Rp 1,6 miliar untuk PPh.
Nah seiring berjalannya
waktu, kasus tersebut terungkap setelah pihak penegak hukum mendapatkan laporan
adanya tanah milik negara yang diduga kuat turut dibeli oleh pihak investor.
Setelah dikembangkan, terungkap pula adanya dugaan gratifikasi dan korupsi pajak.
(ded)

0 komentar:
Posting Komentar