SURABAYA (mediasurabayarek.net) - Pembacaan nota pembelaan (pledoi) yang dilakukan oleh Ketua Tim Penasehat Hukum (PH) Sukriyanto SH , dalam sidang lanjutan Suprapti, Mantan Kepala Desa (Kades) Gemarang, yang tersandung dugaan perkara korupsi Pembangunan kolam renang Tahun Anggaran 2018- 2021 senilai Rp 1 miliar di Dusun Mundu, Desa Gemarang, Madiun, menarik perhatian para pengunjung sidang.
Dalam pledoinya, PH Sukriyanto
SH menyatakan, memohon dengan hormat kepada majelis hakim yang mengadili
dan memutus perkara ini, agar berkenan menyatakan Suprapti tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana dalam dakwaan
Jaksa.
“Membebaskan Suprapti
dari semua dakwaan Jaksa. Atau setidak-tidaknya membebaskan dari tuntutan hukum
(onslag). Bila majelis hakim berpendapat lain, mohon putusan yang
seringan-ringannya,” ucapnya di ruang Candra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(TIPIKOR) Surabaya, Selasa (14/10/2025).
Menurut PH Sukriyanto SH, pembangunan kolam renang sebagaimana tuduhan Jaksa Penuntut Umum (JPU) lebih banyak mengenai tidak kesempurnaan administrative.
Seharusnya perkara ini
diselesaikan dengan sanksi administratif. Bukannya ditarik ke ranah korupsi.
Karena Suprapti bertindak sebagai Kades untuk kepentingan desa.
“Niat terdakwa, itu
untuk membangun desa, bukan merusak. Tetapi dianggap melawan hukum, karena
tidak masuk RPJM desa. Pembangunan kolam renang sudah melalui musyawarah desa
(musy-des). Bukan inisiatif dadakan. Tetapi sudah terstruktur dan sudah melibatkan
potensi desa,” ujar Sukriyanto SH di
depan Hakim Ketua Irlina SH MH dan Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Agustin Dwi Ria Mahardhika SH dan Bertha Rany SH dari
Kejaksaan Negeri (Kejari) Madiun.
Berdasarkan Permendagri
No.14 Tahun 2014, bahwa pemerintah desa dapat melakukan evaluasi dan revisi.
Hal ini dapat melalui musyawarah desa dan mengedepankan kepentingan desa.
Dalam fakta sidang,
dalil JPU menyebutkan tidak ada musyawarah desa itu, adalah keliru. Karena
sudah berjalan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Bahkan musyawarah dusun
sudah dilakukan untuk membahas inisiatif pembangunan kolam renang tersebut.
Bukan kehendak tunggal dari Suprapti, karena bersama-sama BPD
Gumarang , Madiun. Menggelar musy-desa untuk pembangunan kolam renang. Bahkan
pelaksanaan musy-des itu sah.
“(Terdakwa) Suprapti
bertindak atas Keputusan kolektif, bukan atas inisiatif pribadi. Pembentukan
PPTK sesuai prosedur. Bahkan Samiran, melakukan pengawasan kolam renan.
Mekanisme kegiatan desa sesuai koridor hukum. Melibatkan unsur masyarakat dan
pembangunan yang nyata. Bukan fiktif,” cetus PH Sukriyanto SH.
Konstruksi pembangunan
kolam renang dilakukan masyarakat secara swakelola, Proyek nyata dan PPTK telah
bekerja efektif. Dana dialirkan dan dipergunakan untuk pembangunan fisik, bukan
untuk kepentingan pribadi terdakwa. Pencairan dan pembangunan kolam renang sesuai
prosedur.
Namun Jaksa mendakwa
Suprapti, memperkaya diri sendiri sebesar Rp 1,04 miliar. Padahal, tidak ada aliran
dana proyek pada Suprapti atau keluarganya. Tidak ada laporan mutasi rekening,
tidak ada pembelian dan bukti gaya hidup mewah.
Adanya kegagalan fundamental
dalam pembuktian oleh Jaksa. Tidak ada penambahan kekayaan dari Suprapti.
“Mangkraknya kolam
renang, karena tidak dimanfaatkan masyarakat Gumarang. Selain itu, yang berhak
menghitung kerugian negara adalah BPK. Bukan auditor internal Kejaksaan Tinggi.
Hasil auditor Kejaksaan itu tidak sah. Menghilangkan validitas. Tidak punya
kewenangan hukum mengikat. Mengandung konflik kepentingan dan cacat hukum. Yang
berwenang hitung kerugian negara adalah BPK dan BPKP,” kata PH Sukriyanto SH.
Dalam kesempatan itu, Suprapti
juga membacakan pledoi pribadinya. Intinya, memohon putusan yang seadil-adilnya
dan membebaskan dari segala tuduhan dan tuntutan hukum.
“Saya dengan penuh
tanggungjawab dan kejujuran, untuk memajukan desa. Tidak ada keuntungan pribadi
sedikit pun untuk memanfaatkan proyek kolam renang tersebut,” kata Suprapti.
Sehabis sidang,
Ketua Tim Penasehat Hukum (PH) Sukriyanto SH mengatakan, pada faktanya
perkara ini lebih banyak pada peristiwa administrasi. Dan yang paling penting di sini, adanya inkonsistensi terhadap
tuntutan Jaksa.
Penuntut Umum ajukan Ahli
Edi Purwanto, ahli Teknil Sipil dari
Unesa menyebutkan, menghitung pencapaian pembangunn kolam renang itu sudah 76 persen. Tetapi Jaksa
melalui auditor internal kejaksaan menghitung kerugian negara secara total loss
Rp 1.040 miliar.
Dijelaskan Sukriyanto SH,
Jaksa menuntut Suprapti dengan hukuman selama 7 (tujuh) tahun dan UP Rp 1,04 miliar.
Ada inkonsistensi oleh Jaksa.
Untuk penghitungan bahwa
pengerjaan kolam itu sekarang 76 persen, karena ada yang rusak , pintunya
semplak (rusak). Tetapi, Jaksa menuntut secara total loss.
“Penghitungan internal
Kejaksaan itu tidak sah. UU mengamanatkan, yang berhak hitung kerugian negara
adalah BPK. Tumpang tindih kewenangan. Jaksa yang menuntut, menyidik, juga yang
menghitung. Ini tidak boleh,” ungkapnya. (ded)

0 komentar:
Posting Komentar