SURABAYA
(mediasurabayarek.net) – Sidang lanjutan Nursetya Ardhi Arima, S.Kom
(marketing BRI) dan Handjar Pramudya SE (Kepala Unit BRI), yang
tersandung dugaan perkara korupsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif, menghadirkan
Ahli Pidana Dr. Prija Djatmika SH di persidangan.
Setelah Hakim Ketua I
Made Yuliada SH MH membuka sidang dan terbuka untuk umum, langsung
mempersilahkan Penasehat Hukum (PH) Teguh Prastyo Nur Widiyanto SH dan Timnya,
bertanya lebih dahulu kepada Ahli Pidana tersebut.
Dalam keterangannnya, ahli pidana menyebutkan, bahwa
tidak semua kredit macet itu masuk korupsi. Jika tidak ada fraud, konflik
interest, sudah menerapkan prinsip kehati-hatian. Maka , perkara itu tidak bisa
masuk tindak pidana korupsi (TIPIKOR).
Kini giliran PH Teguh Prastyo SH bertanya pada ahli pidana, dengan memberikan ilustrasi kasus. ada marketing
sebut ‘A’ dalam sebuah momen ketemu B (tokoh desa), yang memberitahukan jika
ada warga yang membutuhkan kredit bisa menyampaikan kepada dirinya.
Lalu B mencari warga
yang ingin mengajukan kredit ke bank. Ada kesepakatan pinjaman dan dikasih
imbalan. Kemudian B menghubungi A, karena ada warga yang mengajukan kredit. Dokumen
- dokumen yang diajukan memenuhi syarat dan pinjaman diproses oleh bank.
Kemudian, diundang ke
bank untuk akad kredit dan tanda tangan kredit. Di situ, dijelaskan hak dan
kewajiban KUR. Lantas, kredit cair dan masuk ke rekening pemohon. Lalu, dibawa
ke B, baik buku tabungan dan PIN, serta dapat imbalan. Bagaimana menurut ahli,
apakah bisa penuhi unsur pidana ?
“Untuk penuhi unsur
pidana harus ada perbuatan materiil. Jika kreditnya macet dan merugikan bank.
Maka dibuktikan permufakatan jahatnya. Jika A, B, dan C (nasabah) ada mufakat
jahat. Ada subyektif elemen dan obyektif elemen. Bila pegawai bank tahu adanya kredit
topengan (dipakai pihak ketiga), maka bisa dipidana. Akan tetapi, jika sejak
awal tidak ada mens-rea nya. Pihak pegawai bank tidak tahu, maka tidak ada pidana,”
jawab Ahli Pidana di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR)
Surabaya, Selasa (7/10/2025).
Kembali PH Teguh Prastyo SH bertanya pada ahli pidana, jika A (pegawai bank) mengelola 700 nasabah, NPL
(kredit macet) di bawah 3 %. Namun ada 46
nasabah tidak lancar. Tanpa sepengetahuan pihak bank (A), dana pinjaman kredit
digunakan pihak ketiga.
Kemudian, pihak internal
bank turun dan ternyata tidak ada kesalahan yang dilakukan bank. Bagaimana
pendapat ahli atas perkara ini ?
“Maka kredit macet itu
merupakan ‘resiko bisnis’. Tidak bisa
dibebani pidana,” jawab ahli pidana dengan nada tegas.
Dalam kesempatan itu, Ahli
Pidana menyampaikan, jika ada kredit macet, harus dilihat proses kreditnya.
Kalau semuanya sudah dilewati, menjadi resiko bisnis. Bahwa tidak semua
kerugian negara menjadi Tipikor.
Jika ada kredit macet
dan ada jaminan untuk menutupi kerugian. Maka untuk meminimalisir kerugian itu,
dengan melakukan tindakan keperdataan. Bisa lakukan gugatan atau eksekusi atas
jaminan nasabah tersebut. Hal itu
menjadi pengurang kerugian.
“Kalau ada jaminannya,
tidak ada kerugian negara. (Sebenarnya ) Pidana adalah upaya hukum terakhir. Jaminan melebihi
hutang bisa disita. (Perkara) ini tidak bisa dipidanakan,” ujar ahli pidana.
Nah, setelah keterangan
dan pendapat Ahli Pidana dirasakan sudah cukup, Hakim Ketua I Made Yuliada SH
MH mengatakan, sidang akan dilanjutkan pada Selasa, 14 Oktober 2025 mendatang.
Sehabis sidang, PH Teguh Prastyo Nur Widiyanto SH mengatakan,
terkait masalah pidana itu ada atau tidaknya niat jahat dari mantri. Kalau
tidak ada niat (jahat) tidak bisa dipidana.
“(Kedua) Terkait dengan
nasabah, bisa didudukan sebagai korban. Karena sebagai salah satu penyerta
dalam tindak pidana ini. Semua harus diproses, kalau bicara kesetaraan, nasabah
tidak boleh diposisikan sebagai korban. Juga , diposisikan sebagai pelaku,”
cetusnya.
(Ketiga) tidak bisa
terkait dengan putusan yang terdahulu, bisa dikaitkan dengan perkara yang
sekarang. Bukan preseden, tidak terikat. Ada azas similar similibus , tidak bisa
secara serta -merta diberlakukan.
Intinya, Nursetya
Ardhi Arima, S.Kom dan Handjar Pramudya SE tidak tahu kalau dananya
dipakai pihak ketiga, seharusnya tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.
“Menurut ahli pidana, tidak ada mens-reanya. Niat jahatnya tidak ada. Maksud untuk melakukan tindak pidana itu tidak ada. Kalau Nursetya Ardhi dan Handjar, tahu bahwa dana itu akan dipakai pihak ketiga, pasti ditolak. Kan, ada beberapa nasabah mengakui akan dipakai Sulastri, ditolak. Maksud dan tujuan mewujudkan tindak pidananya itu tidak ada,” kata PH Teguh Prastyo.
Ahli pidana juga menyebutkan, bahwa satu-satunya instansi yang berhak mendeclare kerugian negara adalah BPK. Sedangkan BPKP dan Inspektorat hanya sekedar menghitung saja. Jika BPKP dan Inspektorat menemukan kerugian negara, bisa menghitung. Namun, hal ini bergantung keyakinan majelis hakim untuk memutuskan perkara. (ded)

0 komentar:
Posting Komentar