SIDOARJO (mediasurabayarek.net) – Agenda pembacaan duplik disampaikan oleh Penasehat Hukum (PH) Teguh Prastyo Nur Widiyanto SH, dalam sidang lanjutan Nursetya Ardhi Arima, S.Kom (marketing BRI) dan Handjar Pramudya SE (Kepala Unit BRI), yang tersandung dugaan perkara korupsi Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif, di ruang Cakra Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) Surabaya, Jum’at (7/11/2025).
Dalam dupliknya, PH Teguh
Prastyo SH menyatakan, karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat membuktikan
salah satu dari unsur-unsur delik yang ada pada pasal 2 Jo pasal 18 Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1)
ke-1 KUHP.
“Maka kami Tim Kuasa
Hukum Nursetya Ardhi memohon kepada majelis hakim untuk menerima duplik Nursetya untuk seluruhnya. Menolak atau setidak-tidaknya
menyatakan tidak dapat diterima replik dan tuntutan Jaksa untuk seluruhnya,”
ucapnya.
Menurut PH Teguh Prastyo
SH, pihaknya memohon supaya Yang Mula Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadil
perkara a quo dengan seksama menerima pembelaan Nursetya, baik
sebagian maupun seluruhnya, hingga akhirnya pada putusan yang berkeadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dipaparkannya, bahwa
Penasehat Hukum menolak replik Jaksa untuk seluruhnya. Bahwa apa yang didalilkan
oleh Jaksa sebagai fakta hukum dalam repliknya hanya sebatas mengcopy paste
keterangan (fakta hukum) yang ada dalam putusan perkara lainnya (Sulastri-red).
“Padahal perlu kami
tekankan perbuatan materiil dan fakta hukym yang terungkap dalam persidangan
perkara Sulastri dengan perkara Nursetya Ardhi sangat berbeda jauh. Sehingga
tidak bisa diterapkan begitu saja atas nama “similia similibus’. Oleh karena
itu kami mohon kepada Yang Mulia Majelis
Hakim atas kasus terdahulu yang sama, juga harus berhati-hati,” ujar PH Teguh
Prastyo SH.
Bahwa setiap kasus tidak
akan sama seratus persen, pasti ada perbedaan – perbedaan, entah itu besar atau kecil. Akan tetapi dengan
perbedaan tersebut dengan menilai seluruh bukti dan fakta yang terungkap dalam
persidangan yang sedang berlangsung, bukan berdasarkan fakta dan bukti
dalam persidangan terdakwa, lain.
Bahwa apa yang diuraikan
oleh Jaksa halaman 2 sampai 8
adalah dalil yang mengada-ada, yang didasarkan pada keterangan dalam putusan perkara lainnya. Bahwa kerugian dalam kasus
ini dialami oleh PT BRI (Persero) sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
berstatus Perseroan Terbatas dan tunduk pada
hukum privat. Bukan lagi murni sebagai lembaga pemerintah.
Artinya, meskipun saham
mayoritas dimiliki negara, BRI adalah entitas bisnis yang berorientasi laba dan
memiliki tanggung jawab korporasi (corporate liability) terhadap pemegang
sahamnya. Bukan terhadap kas negara
secara langsung. Karena dana kredit
berasal dari dana pihak ketiga (nasabah) bukan dari APBN.
Dengan demikian, ketika
negara menyertakan modalnya ke BRI, modal tersebut berubah status menjadi asset
korporasi, bukan lagi aset negara yang tunduk pada hukum publik.
Bahwa kerugian yang timbul akibat kredit macet atau penyalahgunaan dana di BRI Unit Tegalombo termasuk dalam kerugian korporasi. Karena dana tersebut berasal dari dana operasional BRI, bukan langsung dari APBN.
BRI memiliki mekanisme sendiri dalam menanggung risiko kredit (NPL recovery, gugatan perdata). Tidak ada unsur penyalahgunaan anggaran publik negara, prosedur kredit telah dilakukan sesuai SOP (dibuktikan audit internal).
Justru terungkap fakta persekongkolan jahat yang
terjadi antara Sulastri dengan para nasabah untuk menipu petugas. Kerugian
timbul dari perbuatan pihak ketiga (Sulastri dan nasabah) di luar kendali pegawai bank, BRI telah
melakukan Langkah hukum dan penagihan.
“Maka secara hukum,
kerugian yang muncul adalah risiko bisnis akibat kelalaian atau penipuan pihak ketiga, bukan
tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara,” cetusnya.
Apalagi, data audit internal BRI menunjukkan bahwa portofolio kredit milik Nursetya Ardhi memiliki tingkat NPL sebesar 1,5 %, jauh di bawah batas toleransi risiko perbankan.
Artinya,
kinerja analisis kredit dan pembinaan debitur yang dilalukan Nursetya terukur,
berhati-hati, dan sesuai prinsip prudential banking. Hasil audit internal BRI yang menyatakan
tidak terdapat kesalahan administratif maupun pelanggaran prosedural.
Bahwa terkait dengan
dalil Jaksa halaman 2 s/d 8 yang pada pokoknya menguraikan jika terdakwa,
secara bersama-sama dengan Sulastri,
adalah dalil yang mengada-ada dan tidak benar.
Dalam persidangan, saksi Sulastri menyampaikan jika Nursetya Ardhi tidak mengetahui atau tidak tahu jika uang nasabah digunakan oleh Sulastri. Saksi Sulastri juga menerangkan jika Nursetya Ardhi tidak tahu kalau adanya praktik pinjam nama.
Sulastri juga
menerangkan jika tidak ada kerjasama antara Sulastri dengan Nursetya. Sulastri
menerangkan jika tidak ada imbalan atau janji atau hadiah yang diberikan oleh
Sulastri kepada Nursetya Ardhi.
Sedangkan duplik dari Handjar Pramudya pada intinya hampir sama dengan duplik Nursetya Ardhi Arima. Sehingga majelis hakim menyarankan kepada Penasehat Hukum untuk tidak perlu dibacakan di depan persidangan.
"Kalau duplik Handjar Pramudya hampir sama isinya, tidak perlu dibacakan lagi. Nanti putusan akan dilaksanakan pada Jum'at, 14 Nopember 2025 mendatang ya. Majelis hakim akan bermusyarawah lebih dulu," kata Hakim Ketua I Made Yuliada SH MH seraya mengetukkan palunya sebagai pertanda sidang selesai dan berakhir sudah.
Sehabis sidang, PH Teguh
Prastyo SH mengatakan, inti duplik membantah dalil Jaksa Penuntut Umum (JPU) ,
apa yang didalilkan itu merupakan copy-paste dari putusan yang sebelumnya.
Sedangkan fakta yang
terungkap di persidangan , antara perkara sekarang dan sebelumnya itu berbeda.
Dalam dalilnya, Jaksa selalu mengutip keterangan Sulastri dalam perkara sebelumnya.
Padahal keterangan
Sulastri, bertentangan dengan keterangan dalam perkara ini. Contohnya, terkait
persekongkolan antara Sulastri dengan Nursetya Ardhi , itu tidak ada.
“Keterangan sebelumnya
bertentangan dengan keterangan para nasabah. Para nasabah menerangkan bahwa
Nursetya Ardhi tidak tahu terkait persekongkolan antara nasabah dan
Sulastri. Praktik pinjam nama pun juga tidak tahu,” tuturnya.
Terkait hasi analisa yang
digunakan Nursetya Ardhi, adalah hasil analisa yang digunakan untuk nasabah
lainnya. Jadi sama dan tidak ada perlakuan yang berbeda. Buktinya, ada 10 nasabah
dengan analisa yang sama, mereka bisa menyelesaikan kreditnya,” ungkapnya.
Jadi persoalannya bukan
terkait dengan analisanya, tetapi uang itu digunakan oleh pihak ketiga
(Sulastri). Kalau uang itu digunakan oleh nasabah sendiri untuk usaha ,
sebagaimana permohonan. Pasti akan kembali dan tidak terjadi kredit macet.
“Kami tetap minta bebas
kepada majelis hakim,” tukasnya dengan nada penuh ketegasan di Pengadilan
TIPIKOR Surabaya.
Terkait dengan
persekongkolan, tidak ada meeting of minds atau permufakatan jahat antara Sulastri dengan Nursetya Ardhi. Karena tidak
ada persesuaian kehendak, komunikasi jahat, atau keuntungan bersama dari perbuatan tersebut. Nursetya melaksanakan tugas sesuai prinsip
kehati-hatian dan SOP BRI yang dibuktikan dengan hasil audit internal.
Sedangkan penyalahgunaan dana sepenuhnya dilakukan oleh Sulastri dan para nasabah
setelah dana dicairkan. (ded)

0 komentar:
Posting Komentar